Kaum muda yang berharap bisa menciptakan revolusi atas nama
kemanusian akan berhadapan dengan dilema moral yang sangat mendasar dalam
segala revolusi diabad kita ini; apakah membunuh manusia atas nama kemanusian
itu bisa dibenarkan?. Jika kalian berbelok menuju kekerasan bersenjata, apakah
kalian lebih baik dari kebijakan-kebijakannya yang telah menyinggung kepekaan
moral kalian sendiri?. Jika orang menerima fakta bahwa kehidupan politik adalah
pertimbangan kekuatan, laras senapan lawan
laras senapan. Maka klaim-klaim moral pun tersisihkan.
Kiri maupun kanan merupakan terminologi yang seringkali
terdensius dari pada sekedar istilah biasa. Dengan kedua terma ini suatu komunitas
maupun negara pada umumnya, bisa terbelah kedalam dua pilihan: menjadi kiri
atau menganut kanan. Keduanya merupakan suatu entitas yang berlawan secara
diametral., ketika masing-masing menegaskan keyakinannya yang sering kali
serampangan. Maka persatuan adalah hal yang sulit diwujudkan. Adapun
pilihannya, menjadi kiri atau menjadi kanan, berdiri ditengah, menjadi moderat,
sama saja menetapkan suatu pilihan.
Namun katergori kiri dan kanan itu bukan kehendak suatu
masyarakat. Terma-terma idiologis semacam itu sangat mungkin muncul karena kita
memang hidup dalam suatu zaman yang dikerumuni oleh suatu keharusan adanya
acuan-acuan tertentu, yang mengemuruh, kalau bisa heroik, penuh tenaga, dan
mampu mencita-citakan suatu masa depan yang besar. Semuanya sah-sah saja.
Diatas kerta semua itu mungkin. Namun disisi lain, manusia
disaman ini juga dirundung kegamangan untuk merumuskan suatu filsafat atau
“idiologi” dengan ambisi besar: keinginan untuk merubah segala hal sekaligus
menjelaskannya.
Zaman kita dimana ribuan kata termuntahkan, jutaan kertas
tertuliskan, dan sekian energi dikeluarkan untuk sebuah kehendak maha besar:
kemaslahatan manusia. Kemudian segala
cara kita tempuh lewat diplomasi dan lebih banyak dengan kekerasan dan perang.
Ada yang hilang dari usaha penyelamatan diri dan kemaha kuasaan (Tuhan).
Manusia mengabdikan dirinya pada rasionalisme ilmu. Alih-alih meninjau
kesalahan-kesalahan pengembangnya, manusia lebih menyukai melakukan eksperimen
tanpa henti mewujudkan kejayaan umat manusia, dan segera mungkin menciptakan
kerajaan Tuhan di muka bumi. Semangat humanisme terpenjara dalam keinginan
melebihi kekuasaan manusia. Trasendensi dilangkahi, arogansi terus mengalami
eskalasi.
Akibatnya rumus-rumus politik, kalkulasi ekonomi, rentetan
dogma idiologi, hanya melanggengkan distrosi realisasi humanisme itu. Kapitalisme
hanya terjebak dalam pengusasaan hasrat secara total atas kemampuan produksi dan konsumsi manusia. Sosialisme sulit karena
variabel elementer dari manusia belum sepenuhnya diperbaharui, tetap saja
kapitalistik.
Konflik yang berlangsung dalam kesadaran kaum muda radikal saat ini sangat pedih. Disatu
sisi mereka menyaksikan arah kehidupan saat ini tak bisa didiamkan. Namun,
disisi lain mereka juga melihat betapa logika kesadaran revolusioner, sejauh
ini akhirnya bermuara pada kekerasan bersenjata, pun tak bisa diterima. Jika
mereka mencoba mendamaikan diri dengan sisi kedua dari dilema itu, yakni dengan
fakta bahwa setiap penataan sosial memang niscaya melibatkan mereka dalam
kekerasan dan bahkan pembunuhan, maka mungkin mereka akan melibatkan diri dalam
kekerasan bersenjata. Namun, pada saat yang sama mereka pun kehilangan pijakan
dimana aspirasi-aspirasi kemanusian mereka sendiri berakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar