Senin, 09 Januari 2012

TEOLOGI POLITIK RADIKAL



Kaum muda yang berharap bisa menciptakan revolusi atas nama kemanusian akan berhadapan dengan dilema moral yang sangat mendasar dalam segala revolusi diabad kita ini; apakah membunuh manusia atas nama kemanusian itu bisa dibenarkan?. Jika kalian berbelok menuju kekerasan bersenjata, apakah kalian lebih baik dari kebijakan-kebijakannya yang telah menyinggung kepekaan moral kalian sendiri?. Jika orang menerima fakta bahwa kehidupan politik adalah pertimbangan kekuatan, laras  senapan lawan laras senapan. Maka klaim-klaim moral pun tersisihkan.
Kiri maupun kanan merupakan terminologi yang seringkali terdensius dari pada sekedar istilah biasa. Dengan kedua terma ini suatu komunitas maupun negara pada umumnya, bisa terbelah kedalam dua pilihan: menjadi kiri atau menganut kanan. Keduanya merupakan suatu entitas yang berlawan secara diametral., ketika masing-masing menegaskan keyakinannya yang sering kali serampangan. Maka persatuan adalah hal yang sulit diwujudkan. Adapun pilihannya, menjadi kiri atau menjadi kanan, berdiri ditengah, menjadi moderat, sama saja menetapkan suatu pilihan.
Namun katergori kiri dan kanan itu bukan kehendak suatu masyarakat. Terma-terma idiologis semacam itu sangat mungkin muncul karena kita memang hidup dalam suatu zaman yang dikerumuni oleh suatu keharusan adanya acuan-acuan tertentu, yang mengemuruh, kalau bisa heroik, penuh tenaga, dan mampu mencita-citakan suatu masa depan yang besar. Semuanya sah-sah saja.
Diatas kerta semua itu mungkin. Namun disisi lain, manusia disaman ini juga dirundung kegamangan untuk merumuskan suatu filsafat atau “idiologi” dengan ambisi besar: keinginan untuk merubah segala hal sekaligus menjelaskannya.
Zaman kita dimana ribuan kata termuntahkan, jutaan kertas tertuliskan, dan sekian energi dikeluarkan untuk sebuah kehendak maha besar: kemaslahatan  manusia. Kemudian segala cara kita tempuh lewat diplomasi dan lebih banyak dengan kekerasan dan perang. Ada yang hilang dari usaha penyelamatan diri dan kemaha kuasaan (Tuhan). Manusia mengabdikan dirinya pada rasionalisme ilmu. Alih-alih meninjau kesalahan-kesalahan pengembangnya, manusia lebih menyukai melakukan eksperimen tanpa henti mewujudkan kejayaan umat manusia, dan segera mungkin menciptakan kerajaan Tuhan di muka bumi. Semangat humanisme terpenjara dalam keinginan melebihi kekuasaan manusia. Trasendensi dilangkahi, arogansi terus mengalami eskalasi.
Akibatnya rumus-rumus politik, kalkulasi ekonomi, rentetan dogma idiologi, hanya melanggengkan distrosi realisasi humanisme itu. Kapitalisme hanya terjebak dalam pengusasaan hasrat  secara total atas kemampuan produksi  dan konsumsi manusia. Sosialisme sulit karena variabel elementer dari manusia belum sepenuhnya diperbaharui, tetap saja kapitalistik. 
Konflik yang berlangsung dalam kesadaran kaum  muda radikal saat ini sangat pedih. Disatu sisi mereka menyaksikan arah kehidupan saat ini tak bisa didiamkan. Namun, disisi lain mereka juga melihat betapa logika kesadaran revolusioner, sejauh ini akhirnya bermuara pada kekerasan bersenjata, pun tak bisa diterima. Jika mereka mencoba mendamaikan diri dengan sisi kedua dari dilema itu, yakni dengan fakta bahwa setiap penataan sosial memang niscaya melibatkan mereka dalam kekerasan dan bahkan pembunuhan, maka mungkin mereka akan melibatkan diri dalam kekerasan bersenjata. Namun, pada saat yang sama mereka pun kehilangan pijakan dimana aspirasi-aspirasi kemanusian mereka sendiri berakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar