Rabu, 08 Juni 2011

realitas mahasiswa

• Ada 2 hal yang perlu diingat, walau tidak untuk dibedakan secara tegas, ketika bicara gerakan mahasiswa, yakni mahasiswa dan gerakan mahasiswa. Seringkali, ini di tempatkan sama, padahal keduanya sangat berbeda secara praksis.
• Ketika bicara mahasiswa, maka kita menempatkannya sebagai subyek, yang memiliki minat/bakat serta ia mengarahkan dirinya menjadi utuh. Selama ini, di semua kampus, praktik ini belum terintergrasi dengan baik. Sehingga, keaktifan mahasiswa di organisasi hanya berbasis rutinitas atau kuantitas bukan sebaliknya. Problem ini sebenarnya bisa diatasi bila peran sinergis terjadi antara pihak kampus dengan lembaga kemahasiswaan (center of talented based)
• Bagaimana kabar mahasiswa sebagai subyek hari ini?
1. Anarkis
2. Kritis tapi tak jarang fatalis/pesimis
3. Pengangguran
4. Terjebak Pergaulan Bebas
5. Hedonis
• Bila pembahasan telah sampai pada ranah gerakan mahasiswa, maka yang perlu diperhatikan, dari mana (hulu dan hilir) ia bergerak. Untuk memudahkannya, sering dikategorisasi dalam bentukan koordinasi dengan kampus yakni Lembaga Intra Kampus dan di luar koordinasi kampus, yakni Ekstra Kampus


• Terus, bagaimana wajah gerakan mahaiswa hari ini?
1. Terfragmentasi berdasarkan ideologi dan kepentingan. Namun, bersatu bila membawa isu atau mencoba melakukan transaksi politik (bagi-bagi kue)
2. Belum ada pihak yang mampu mempersatukan elemen-elemen yang hadir (lack figure, minimize intermediary institution) harusnya, pers mahasiswa atau kelompok studi
3. Terjebak dalam kepentingan politik praktis. Biasanya terejawahtahkan dalam aktivitas organisasi-organisasi ekstra kampus. Namun, hari ini, kondisi yang terjadi sudah tak jauh berbeda, karena infiltrasi politik ansih semakin menguat di lembaga-lembaga intra kampus seperti BEM, DPM, hingga Himpunan Mahaiswa
• Dengan kondisi seperti ini di mana celah mahasiswa dan gerakan dapat kembali menjelma menjadi kekuatan yang diperhitungkan?
1. Ada semacam tuntutan bagi aktivis untuk berprestasi, sebagai bentuk integritas kualitas diri dalam iklim kampus yang konsisten mengumandangkan world class research university. Bila secara komunal ada pers mahasiswa dan kelompok studi yang diharapkan menjadi intermediary actor, mahasiswa berprestasi juga sebenarnya mapu memainkan peran ini. Namun, problematis, karena ke semua aktor tersebut hanya ‘mengandalkan’ tradisi intelektualitas (menara gading) dan meninggalkan massa sebagai basis.
2. Kembali ke basis, agar penguataan manfaat dapat berlangsung secara konsisten. Maksudnya, tradisi intelektualitas, yakni, baca, diskusi, ‘aksi’ perlu menjadi siklus wajib yang menjadi budaya aktivisme. Berikutnya, agar basis kuat, maka orientasi ‘aksi’ yang dimaksud harus menyentuh obyek perjuangan, yakni mahasiswa maupun masyarakat (relevansi isu)
3. Sinergi. Pasca reformasi terbentuk lembaga-lembaga baru yang berfungi memperkuat peran negara, swasta, maupun masyarakat. Mereka terdiri dari Pers, LSM/NGO, Komisi-Komisi Negara, dan sebagainya. Perlu pemetaan yang baik terhadap aktor-aktor ini agar tujuan perjuangan semakin mudah diraih. Kedua, sinergi perlu dilakukan terhadap aktor-aktor pro status quo, seperti militer, birokrat, parpol untuk memahami konteks perjuangan yang sedang dilakukan. Ketiga, sinergi terhadap rekan-rekan mahasiswa sendiri, agar perjuangan yang dilakukan bukan hanya sebatas milik kelompok tertentu.
4. Informasi dan Komunikasi. Kemajuan teknologi, menghantarkan manusia memasuki peradaban nano yang multidisiplin, kompleks, dan unik. Dunia berubah setiap detik, oleh karenanya penguasaan media informasi dan komunikasi mutlak dimiliki. Secara konkrit, gerakan mahasiswa juga sudah harus melek untuk mengadaptasikan penggunaan jejaring sosial via FB, Twitter, Blog, Website, BBM, dsb
• Bukan untuk menyimpulkan, namun, melihat secara praksis atau bergerak langsung (aktif di gerakan mahasiswa), jangan sampai kita melupakan dimensi strategis mahasiswa itu sendiri. Karena nilai tambah inilah yang masih membuat masyarakat ‘menerima’ mahasiswa, walaupun tidak seperti dulu. Apa yang membuat mahasiswa strategis?
1. Visi : idealnya, aktivisme bukan berumur 4-5 tahun, tp, justru melampaui usia diri ataupun usia peradaban manusia sendiri. Bagaimana kita mengkonstruknya dalam sebuah pola dan ritme yang sinergis saat maupun pasca lembaga
2. Inovasi : ini lebih bicara pada aspek sinergitas dan nilai tambah yang bisa diberikan terhadap aktivitas kemahaiswaan kita maupun gerakan mahasiswa. Sehingga efeknya, mampu secara konsisten memastikan Indonesia lebih baik
3. Evaluasi : gerakan yang baik, akan lebih baik bila memiliki waktu untuk ‘berfikir’. Hal ini dilakukan, agar mahasiswa dan gerakannya tetap dalam kondis fit and fresh
Kesimpulan
1. Perlunya institusionalisasi lembaga, untuk mengadakan kaderisasi mahasiswa secara sistematis (center of talented based), sebagai bentuk kerjasama antara pihak kampus dengan lembaga mahasiswaan dalam periode waktu tertentu dan terpusat. Sebelum mahasiswa nantinya diwajibkan bergerak. Misalnya, Bagaimana menyikapi anak-anak yang masuk ke kampus karena sebelum masuk berprestasi di olimpiade tingkat dunia atau nasional? bagaimana mengapresiasi anak-anak yang berprestasi saat sudah masuk di kampus? Bila mereka dikelola dengan baik, maka hasilnya akan memberi manfaat dan mendatangkan mashlahat besar bagi pencapaian visi Indonesia 2025, 2030, atau bahkan 2045..Berapa pun waktu yang kita target untuk membuat bangsa ini lebih baik, sebenarnya bisa, asal kampus juga terlibat aktif di dalamnya.
2. Gerakan Mahasiswa masih tetap ada, selama negara belum sejahtera
3. Orientasi gerakan mahasiswa hari ini dan di masa mendatang, bukan hanya sekedar menjatuhkan rezim atau mengubah sistem, namun lebih jauh dan strategis, bagaimana gerakan mahasiswa mampu mengisi sistem yang diubah atau memperbaiki (new social movement)
4. Mahasiswa dan Gerakannya saat ini tercerabut dari basis (tradisi intelektualitas dan massa), sehingga menjadi kumpulan manusia kurang strategis
5. Walaupun zaman berubah, sebenarnya posisi tawar mahasiswa dan gerakannya masih kuat, bila sadar dengan keterbatasan yang dimiliki. Karena sepanjang pengamatan penulis, gerakan mahasiswa selalu ‘membutuhkan’ keterlibatan aktor-aktor lainnya. Jadi, besarnya gerakan mahasiswa sepanjang sejarah, karena mereka sadar ‘betapa kecilnya’ diri mereka.
6. Bekerjasama dengan siapapun sah, asal gerakan mahasiswa sudah memiliki desain perjuangan yang jelas (visi dan aksi jangka pendek-menengah-panjang), karena usia gerakan yang dibangun tidak lama. Setidaknya, menguatkan pemahaman bahwa semuanya butuh proses (waktu), kecerdasan, keteguhan, dan pengorbanan.
Catatan :
1. Pointers ini pertama kali disampaikan pada saat diskusi terbatas dengan rekan-rekan Lingkar Studi Bulaksumur, 7 Mei 2011
2. Pointers diskusi ini merupakan overview skripsi yang sedang kami tulis, rencananya dalam bulan ini akan kami konsultasikan secara lebih mendalam (tahap akhir).
3. Karena skripsi yang kami tulis akan dijadikan buku, maka kami menunggu saran dan masukan rekan-rekan. Buku ini adalah karya kami yang kedua, setelah Status Update For The Best Student. Rencananya ada 3 buah buku (Sebuah Trilogi Untuk Mahasiswa Indonesia) yang kami selesaikan, sebelum meninggalkan Indonesia untuk bersekolah kembali. Semoga bermanfaat.