Jumat, 24 Juni 2011

SEJARAH PRIA BERAMBUT GONDRONG



Rambut gondrong bagi pria, identik dengan gaya yang urak-urakan. Tak mau ikut aturan dan bersifat seperti preman. Rambut gondrong di identikkan dengan seorang penjahat seperti di perfilaman. Perkelahian, pemalakan, pemerkosaan dan juga berbagai kejahatan sosial itu menjurus kepada pria yang berambut gondrong. Wanitapun terhanyut oleh propoganda tersebut, sehingga para wanita kebanyakan akan memandang sebelah mata bagi pria yang berambut gondrong. Sungguh kasihan bagi pria yang berambut gondrong.
Pandangan pertama itu menetukan, mungkin seperti itulah kebanyakan orang memadang pria yang berambut gondrong. Gondrong itu buruk, gondrong itu seorang penjahat, gondrong itu sangat bejat. Begitulah kepiluan bagi pria yang berambut gondrong. Selalu di identikkan dengan hal yang buruk, tetapi pada kenyataanya itu belum tentu.
SEJARAWAN Anthony Reid, dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, mengatakan bahwa rambut bagi masyarakat Asia Tenggara kuno merupakan lambang dan petunjuk diri yang sangat menentukan. Maksudnya, rambut adalah simbol kekuatan dan kewibawaan seseorang. Dengan begitu, rambut mesti diberi perawatan terbaik agar terjamin tetap hitam, lebat, dan harum. Sehingga, menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin merupakan cara menunjukkan kekuatan sekaligus kekuasaan serta kewibawaan seseorang. Maka tak heran, bila dalam film-film yang berlatar kerajaan-kerajaan masa lampau, para jago dan ksatria digambarkan banyak yang berambut panjang.



Begitu besarnya penghormatan terhadap rambut, sampai-sampai ada pandangan yang menyatakan bahwa “Mencintai rambut sama dengan mencintai kepalanya.” Kepala merupakan bagian tubuh yang paling dihormati dan disucikan. Alhasil, memotong rambut bagi masyarakat Asia Tenggara kuno diartikan sebagai simbol pengorbanan diri ketimbang pembeda jenis kelamin, sehingga perlu dilakukan ritual khusus pemotongan rambut. Memotong rambut sama dengan pernyataan kesedihan yang mendalam, seperti akibat ditinggal mati orang tua, suami, atau raja.

Rambut mulai mendapatkan pengaturan, setelah masuknya pengaruh Barat, seperti agama Islam dan Kristen. Bila sebelumnya rambut panjang dikaitkan dengan kedewasaan serta kekuatan spiritual seseorang, masuknya pengaruh tersebut, menjadikan rambut sebagai penanda seksualitas seseorang. Artinya, terjadi pergeseran pandangan pada persoalan seksualitas yang menekankan pada pengekangan seksual dan pembedaan antara perempuan dan laki-laki.

Pemotongan rambut bagi laki-laki kemudian dimengerti sebagai simbol ketaatan terhadap agama. Di Bali abad ke-16 misalnya, ketika seorang utusan Islam dari Mekkah memersembahkan sebuah gunting kepada seorang pangeran. Dengan serta merta pangeran itu menghancurkan gunting tersebut karena dianggap sebagai ajakan masuk Islam. Lain lagi yang dilakukan Diponegoro sewaktu melawan Belanda pada awal abad ke-19. Ia memerintahkan seluruh pengikutnya memotong rambut sebagai pembeda dengan orang Jawa yang “murtad” karena bekerja sama dengan Belanda.
Jepang, yang menghilangkan semua yang berbau Barat (Eropa). Anak-anak muda Indonesia yang telah berganti generasi juga memiliki cara lain untuk mengindentifikasikan dirinya. Apalagi oleh Jepang, mereka diberi kesempatan berlatih militer yang tidak pernah dirasakan pada masa Belanda. Anak-anak muda Indonesia lalu mengalami suasana zaman (Zeitgeist) yang penuh semangat heroisme dan dikenal sebagai semangat ’45.
Bila anak-anak muda berambut gondrong pada periode revolusi menjadi simbol perjuangan revolusioner, Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin malah memandang mereka sebagai simbol kontra-revolusioner. Dengan tegas ia menyatakan anak-anak muda yang berambut panjang ala Beatles dan memiliki selera menyanyikan lagu yang disebutnya ngak ngik ngok sebagai penghambat revolusi Indonesia dan pendukung Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Tak heran, jika Koes Bersaudara sempat dipenjara gara-gara dituding menjadi simbol kontra-revolusioner.
KETIKA Orde Baru berhasil menggeser kekuasaan rezim Soekarno. Era “Politik sebagai panglima” pun diganti dengan slogan “Ekonomi sebagai panglima.” Pembangunan menjadi fokus utama rezim Soeharto. Alhasil, gaya rambut pada masa Orde baru, terutama pada periode awal kekuasaannya, juga harus disesuaikan dengan semangat pembangunan. Rambut gondrong yang pada awal 1970-an menjadi sebuah gaya hidup kalangan muda dipandang sebagai simbol ketidakacuhan terhadap program pembangunan. Maka, pemerintah perlu melarang model rambut tersebut. Aksi-aksi anti-rambut gondrong pun dilakukan aparat keamanan dengan merazia pemuda-pemuda berambut gondrong di jalan-jalan raya, sekolah, atau kantor-kantor pemerintah. Bahkan bagi mereka yang berambut gondrong tidak diperkenankan mengurus SIM, KTP, atau surat bebas G 30 S dari pihak kepolisian, sebelum mencukur rambutnya.
Itulah secercah kisah rambut gondrong bagi pemuda. Ketika melihat realitas sekarang sangat jarang pemuda berambut gondrong, kemungkinan besar itu di dominasi oleh porpoganda-porpoganda yang sungguh bermani politik akibat globalisme yang melanda. Rambut gondrong di era sekarang hanya dijadikan sebuah life style bukan sebuah makna ataupun semboyan.
HIDUP RAMBUT GONDRONG!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kamis, 23 Juni 2011


Suku bugis merupakan suku terbesar ke-3 setelah jawa dan sunda menurut data statistik. Suku bugis terdapat di beberapa belahan nusantara. Suku bugis terbesar terdapat di Indonesia timur tepatnya di Sulawesi.
Suku bugis tergolong dari suku-suku melayu deutoro. Melayu Deutero atau Melayu Muda adalah sebutan untuk suku Melayu yang datang pada gelombang kedua setelah Melayu Proto. Asal kedatangan bangsa ini sama dengan bangsa Melayu Tua dan berasal dari ras yang sama yaitu Malayan Mongoloid sehingga tidak memiliki perbedaan fisik yang berarti. Suku tersebut masuk ke nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari asia.
Kata bugis di indikasikan berasal dari nama raja yakni La Satumpugi, konotasi dari to ugi, artinya masyarakat bugis. La satumpugi mempunyai anak yang bernama We cudai yang suaminya bernama Sawerigading dan mempunyai anak bernama La galigo.
Pada masa dahulu nusantara terpecah-pecah menjadi sistem feodal di mana pemerintahnya bersifat kerjaan. Suku bugis mempunya banyak kerajaan yakni: Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng, Rappang. Kerana para raja ingin meluaskan area toritorial maka pada masa tersebut pertempuran antara raja-raja bugis tak terhindari.
Dalam perekonomi masyarakat bugis cendrung mencari nafkah dengan menjadi seorang nelayan, pedagang, maupun bertani. Masyarakat bugis sangat mempercayai hal-hal yang tak kasat mata (metafisik).
Masyarakat bugis sangat menjunjung tinggi adat mereka. “Siri” dalam bahasa Indonesia semantik dengan rasa malu. Dalam beraktifitas dan melaksanakan tugas masyarakat bugis lebih menjungjung tinggi rasa malunya. Karena hanya malu yang membedakan antara manusia dan binatang.
Masyarakat bugis sangat piawai dalam mendiplomasi suatu permasalahan. Kipiawaian tersebut bisa kita lihat dengan kemampuannya dalam menghargai sesama manusia. Dalam teknik diplomasi masyarakat bugis biasanya memakai cara:
keras
Watak orang bugis sangat keras, ketika suatu perkataan di lontarkan pantang untuk kembali ke tengorokan. Jadi suatu masalah ketika tidak bisa diselesaikan secara lisan maka secara fisik pun diselesaikan.
Pernikahan
Dalam menyelesaikan suatu masalah masyrakat bugis biasanya memakai cara megawinkan anak mereka. Agar suatu masalah bisa di atas dengan cara kekeluargaan.
Dalam bermasyarakat, orang bugis sangat menjunjung tinggi pertemanan. Mereka sangat ramah ketika prinsipnya seirama dengan masyarakat lain.

Minggu, 19 Juni 2011

alone

lonely the way of road alive
Terkadang menyendiri itu mengasikan sangat mengasikan. Kita bisa berkreatifitas tanpa ada yang mengganggu. Dan dapat terfokus terhadap sesuatu yang diinginkan. Tanpa ada gaya senang-senang semu, tanpa ada hal-hal yang membuat terpaku. Yang terpenting menyendiri itu mengasyikan.


Kita bisa terfokus terhadap hal-hal yang yang paling utama. Waktumu juga tak akan terbuang, ketika engkau mengskenariokan hal yang paling bermanfaat.
Tahukah kalian, bahwa sebenarnya dunia itu hanya panggung sandiwara, kalian telah diskenariokan oleh beberapa orang yang menggegam dunia. Aktifitas kalian mengalami siklus yang sama. Seperti: kalian lahir, ikut dibangku pendidikan, mencapai gelar, bekerja sebagai staf, menikah mempunyai anak, dan setelah itu kalian mati. Yah kehidupan kalian pasti akan berputar-putar pada siklus tersebut. Dan kalian hanya bersenang-senang.
Itulah dunia matrealisme, dimana kalian di kontrol untuk mengejar hal-hal yang berbau materi yang sebenarnya hal tersebut hanyalah kesenangan semu. Kalian mungkin akan menjawab dunia hanya sekalia, lakukanlah hal-hal yang berarti. Kata berarti pasti terfokus pada hal-hal materi.


Manusa itu makhluk sosial tanpa seseorang kita tidak akan hidup, akan tetapi apakah memang kehidupan kita akan terus bergantung kepada orang lain.
Cobalah menyendiri dan fokuslah pada sesuatu yang substansial. Jangan pernah termakan oleh zaman. Jangan mengikuti kebanyakan orang. Dan jangan terpengaruh oleh nuansa kesenangan semu.Karena hidup butuh kesendirian untuk termenung dan mencari
jati diri.

Buat kalian para penikmat kehidupan yang berfantasi mengawang-awang dan mengatakan bahwa style, gaya, serta, pergaulan itu penting…………………………